“Kembalilah pada keduanya, lalu buatlah
keduanya tertawa sebagaimana kamu membuatnya menangis”
(HR.Abu Daud)
Setiap
anak, khususnya para perantau pasti akan selalu rindu pada orangtuanya. Begitupun
orangtua, juga pasti merindukan anak-anaknya yang sudah lama tak dilihatnya.
***
Liburan
semester telah usai. Dan aku tetap saja bergelut dengan laptop, kampus,
lingkaran, dan proker.
“Kapan pulang ci?”
Pertanyaan
itu selalu muncul ketika Ibu menelpon, sms atau chat whatsap.
“Mama suruh rental jemput ko
disana?”
“Belum mama, masih ujian saya”
Lagi,
“Kapan pulang uci?”
“Belum mama, saya kasi selesai dulu
urusanku ini baru pulang, nanti saya kasi tau ki”
Lagi.
Dan kali ini sedikit membuatku terkekeh
“Uci kapan pulang? Saya suruh
rental jemputko?”
“Belum mama. Btw admin mau tanya,
kenapa kontak mamaku bisa masuk di grup ini yah? hehe”
Ya,
Ibu ku bertanya di grup PKM yang sedikit buat geger isi grup. Entahlah darimana
asalnya Ibuku masuk digrup itu. Namun sudah kuminta admin untuk
mengeluarkannya. Kejadian yang cukup lucu. Setelah saat itu Ibuku tak lagi
bertanya pertanyaan yang sama.
“Uci puasa disitu ko?”
Pertanyaan
ini membuatku sadar, sepertinya ibuku mulai lelah bertanya.
“Tidak mama, saya pulang tapi
tunggu dulu nah, ada.................”
Ku
coba menjelaskan apa yang sedang ku kerjakan. Walaupun sebenarnya ku tahu.
Alasan itu tetap sama. Egois.
***
Sejujurnya
kalau ingin ditanya pulang. Mau. Namun selalu saja...ada saja...hal yang menahanku
di tanah rantau ini. Dan kadang aku berkoar dalam pemikiranku, bahwa berbagai
alasan yang menahanku disini, juga untuk Ibuku. Berbagai kesibukanku disini
untuk menambah kapasitas diriku. Agar kelak aku menjadi orang yang sukses dan
membanggakan kedua orangtuaku. Begitu kata nalarku. Tapi, tidak dengan hatiku.
Dan benar. Pikiranku itu salah.
Aku
pikir, ketika aku sibuk dengan berbagai kegiatan positif, berbagi ide,
mengikuti lomba, dengan berbagai kesibukan itu aku akan bisa membahagiakannya,
maka tak apa jika aku belum pulang. Ternya itu salah besar, jika engkau membuat
ibumu menunggu hingga jatuh air matanya tak kuasa menahan kerinduannya.
***
“Mama sudah main film ta”
(waktu itu mamaku suka menonton serial drama india)
“Ia, sebentar pi”
Tampak
ku lihat mata Ibu yang sembab dan suaranya yang agak parau. Ia menangis.
Pikirku. Tapi kenapa. Ku coba bertanya.
“Mama, kenapa ki?”
(ku duduk disampingnya)
“Enda. Cuman bapikir kakamu saja.
Sudah lama nda pulang. Bagaimana mi je disana”
“Nda papa ji itu. Nanti pi kita
telpon i” (hanya itu yang bisa ku katakan)
“Ia. Semoga sehat-sehat i disana.
Doakan kakamu nak”
***
Ketika
Ibu bertanya kepada ku kapan pulang mungkin Ibu juga menetekan air matanya. Aku
tak tahu apakah ada orang disampingnya yang menyemangatinya. Atau yang menguatkannya.
Pemikiranku terlalu panjang. In syaa Allah suatu saat aku akan membahagiakannya
dengan belajar banyak hal disini. Tapi ternyata aku lupa, bahwa cukup dengan
pulang aku bisa mengukir senyum di wajahnya.
“Kembalilah
pada keduanya, lalu buatlah keduanya tertawa sebagaimana kamu membuatnya
menangis” (HR.Abu Daud)
*NB
: Aku akan pulang di bulan ini. In syaa Allah, Februari. Aku selalu berdoa agar
Allah memanjangkan umurmu dan mengijinkanku memahagiakanmu sebelum aku
dipanggil-Nya.
Komentar
Posting Komentar