"Meski beribu kilo meter kaki melangkah, kita selalu nyaman untuk kembali dengan tawa atau pun tangis dalam dekapannya."
21 April tepat hari ini di peringati sebagai hari Kartini. Sosok pahlawan yang berjuang guna memperoleh hak-haknya sebagai seorang perempuan yang dianggap terbelakang. Sehingga bagi kalangannya, yakni kaum Hawa di anggap tak pantas memperoleh pendidikan dan tak bisa “cerdas” seperti halnya kaum Adam. Padahal jelas sekali, Allah memberi lelaki tak terkecuali juga wanita akal untuk berpikir dan potensi untuk dikembangkan, sedangkan pembedanya hanyalah ke-taqwa-an. Kartini adalah sosok inspirasi bagi para wanita di zamannya hingga hari ini. Itulah Raden Ajeng Kartini yang ku kenal lewat sejarah.
Kartini memang sudah tiada, namun bagiku, gambaran sosok tentang dirinya masih selalu menyapa dalam diri wanita itu. Saya sering memanggilnya Mama. Kita anak-anaknya pasti sepakat, bahwa Mama adalah Kartini yang juga menjadi pahlawan kita selama ini. “Ia selalu ada saat suka maupun duka”, kalimat puitis yang mungkin sudah berasa basi di telinga kita. Tapi yah memang seperti itulah Mama. Meski beribu kilo meter kaki melangkah, kita selalu nyaman untuk kembali dengan tawa atau pun tangis dalam dekapannya.
Seperti kakak dan adik yang sering bertengkar, saya dan mama pun pernah mengalami masa-masa ini. Ada satu hal yang membuatku sering kesal. Bukan padanya, tapi lebih tepanya pada “pekerjaannya”. Perasaan iri kadang menghinggapi ku ketika melihat teman-temanku yang selalu mendapat perhatian lebih dan di damping oleh ibu mereka. Sebagai ibu rumah tangga artinya ada begitu banyak waktu yang bisa dihabiskan untuk memikirkan sang buah hati, ketimbang menjadi seorang wanita karir. Ya, Mama ku adalah seorang perawat. Sejak pagi hingga siang Mama berada di Puskesmas. Saat pulang ke rumah pun terkadang tidak punya waktu istirahat lebih, karena harus mengobati atau mengunjungi pasien. Bahkan sering kali ada yang datang di tengah malam untuk meminta Mama memeriksa pasien atau pun membantu persalinan.
Dulu saya tidak bisa menerima semua kesibukan itu. Saya hanya bisa diam dengan kemarahan. Dan saya tahu sering menyakiti hatinya dengan sikap dinginku. Hingga saat kami mesti dipisahkan oleh jarak dan waktu, saya bertemu dan melihat dunia baru, dan memperoleh gelar sebagai anak rantau, saat itulah saya mulai memahami semuanya.
Mungkin jika ibu tak bekerja, saya dan ketiga saudaraku tidak bisa menyelesaikan sekolah hingga ke perguruan tinggi. Mungkin juga saya masih menjadi anak manja yang terus mengekor di belakangnya. Dan mungkin saya masih belum bisa berpikir dewasa seperti hari ini. Allah memang selalu jadi perancang skenario terbaik dalam hidup tiap hamba-Nya.
Kartini kita yang sedang berada di rumah adalah sosok pejuang yang tak pernah berhenti berjuang. Meski kita tahu, hati dan raganya lelah, ia akan bangkit ketika anak-anaknya membutuhkannya. Seberat apapun cobaan dan ujian di hadapannya, tak pernah jadi penghalang langkahnya untuk memberikan yang terbaik untuk keluarga.
Saat mengajariku, mama jarang berucap lewat lisan, bahwa menjadi seorang wanita harus A,B,C hingga Z. Mama lebih sering mengajariku lewat tindakankannya. Dari keringat yang keluar melewati pelipisnya dan dari air mata yang mengalir di kedua kelopak matanya. Dari sana saya banyak belajar, bahwa menjadi seorang wanita haruslah lembut namun tetap tangguh, cerdas namun tetap rendah hati, berprinsip namun tetap taat, dan sabar namun tetap berjuang. In syaa Allah menjadi pelajaran yang takkan pernah ternilai sebagai bekal ku melewati bahtera rumah tangga kelak.
Kartiniku dan kartimu adalah mutiara. Akan selalu kami jaga di tempat teraman dan takkan pernah ada yang bisa mencurinya. Yakni hati anak-anaknya. Semoga Allah selalu menjaga dan menyayangi kartini kita.
“Allahhummaghfirlii waliwalidayya warham humma kamaa rabbayaa nii shaghiiraa. (Wahai Tuhan ku, ampunilah aku dan kedua orangtua ku, sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku di waktu kecil)”.
Komentar
Posting Komentar