“Gedung runtuh tak
berarti semangat harus runtuh. Auditorium roboh tak berarti wisuda batal.”
Saya ingin sedikit bercerita
tentang wisuda kemarin. Bagi kebanyakan orang, wisuda menjadi momen spesial yang
sangat ditunggu-tunggu. Untuk kamu yang merasa mahasiswa tentu sangat familiar dengan
rutinitas laporan, acc, makalah, diskusi, individu, kelompok, proposal, hasil, dan
skripsi. Juga tentu pernah merasakan tekanan batin ketika laptop error saat
deadline tugas, laporan dicorat-coret minimal lima kali baru bisa acc, tugas
kelompok yang dikerjain sendiri, kerjain tugas sampai semalam suntuk, tapi teryata
dosennya gak ada ketika tugas mau dikumpul, telat lima menit di luar, dosen
telat sejam “masuk Pak Eko.” Tekanan itu
makin terasa ketika menginjak mahasiswa akhir. Judul tak kunjung acc, penelitan
yang gagal, sidang yang beberapa kali dibatalkan, padahal sudah pesan makanan
dan beri tahu teman-teman lagi, lalu ditambah mereka yang terus bertanya “Kapan wisuda?” Lengkapkan. Dan
akhirnya, setelah perjuangan fisik dan batin yang dijalani dengan rentan waktu
normal empat tahun (S1), momen yang ditunggu-tunggu pun tiba, hasil dari
perjuangan itu bernama “Wisuda” dengan predikat pujian (cumlaude), sangat memuaskan, memuaskan atau kurang memuaskan. Maka tak
heran, wisuda jadi ajang silaturrahim dengan keluarga di kampung, teman-teman organisasi,
angkatan, fakultas, jurusan, prodi, SMA, SMP, SD, TK semuanya diundang hadir di
wisuda (Auto : Lebay). Wisuda jug
jadi ajang cekrak cekrek dan upload sana-sini. Hal yang wajar terutama untuk
menunjukkan dan memberi jawaban kepada mereka yang sering bertanya kapan
wisuda.
Namun, bagi sedikit orang, wisuda hanya
dianggap sebagai seremonial saja. Perayaan yang bisa dirayakan ataupun tidak.
Dan biasanya mereka memilih untuk tidak merayakannya.
Jadi, apakah saya ada di posisi
kebanyakan atau sedikit orang? Saya berada di tengah-tengah sebenarnya. Secara
pribadi, sejujurnya saya lebih suka tidak merayakannya, karena saya tidak suka over make up dan bisa memanfaatkan
dana wisuda yang cukup banyak itu untuk hal lain yang menurutku lebih penting
dan bermanfaat. Namun, saya tetap merayakannya seperti kebanyakan orang yang
melakukan wisuda, tidak lain karena keluarga dan teman-teman.
Wisuda pada Kamis, tanggal 8 November
2018 merupakan wisuda angkatan 94 Universitas Tadulako. Wisuda kami cukup
berbeda dengan wisuda biasanya, karena pelaksanaannya tidak di gedung, melainkan di
tenda. Gedung Auditorium yang biasa digunakan hancur parah. Sehingga tenda
menjadi alternatif terbaik, mengingat gempa susulan berskala kecil masih sering
terjadi di Palu. Selain itu, wisuda kali ini juga kedatangan Pak Mentri dan
para jajarannya dari kemenristek dikti untuk memberikan dana bantuan berupa
beasiswa bagi mahasiswa korban bencana yang berjumlah sekitar 800-an orang.
Wisuda di Untad menjadi salah
satu bukti bahwa Kota Pau sudah semakin membaik. Termasuk dalam bidang
pendidikan di Univesritas Tadulako. Pelaksanaan administrasi, proses belajar
mengajar sudah mulai kembali berjalan seperti sedia kala. Meskipun masih ada
beberapa mahasiswa yang sit-in dan
dosen yang belum datang. Namun, semangat
untuk berbenah terus bangkit. Seperti baliho yang dipasang di beberapa area
kampus, ”Gedung runtuh tak berarti
semangat harus runtuh.”
#palubangkit
#untadbangkit
#30dwb
#tulisanke7
#bermanfaatbersama
Komentar
Posting Komentar