“Perekonomian, kondisi fisik,
bukanlah halangan kita untuk mencapai cita-cita kita. Allah melihat dan Allah
tidak akan pernah menyia-nyiakan hambanya yang bersungguh-sungguh. Man jadda wa
jadda. Harus selalu diingat, kesabaran pasti selalu berbuah manis.” ~ Sunik
Frentiana
Saya sangat suka sekali belajar
dari pengalaman orang lain. Saya takkan sungkan bertanya kepada mereka tentang
motivasi dan semangatnya untuk berkarya. Saya selalu mengagumi orang-orang di sekitar
saya yang punya kemauan dan tekad besar untuk bermanfaat bagi banyak orang.
Bagiku, mereka menjadi suntikan energi jiwa untuk juga bisa tuk terus
bermanfaat.
Tahukah kita, ada banyak sekali
orang baik di luaran sana. Mereka tak eksis di dunia maya. Mereka pun tak
mencari popularitas di zaman milenial ini. Ketulusan hati mereka kadang membuat
saya pribadi iri. Era dimana orang-orang sibuk untuk eksistensi diri, tapi
mereka lebih memilih sibuk menebar kebaikan dalam kesunyian. Saya jadi teringat
dengan kisah Uwais Al-Qarni. Seorang pemuda sederhana penggembala kambing yang
tak dikenal di dunia, namun begitu popular oleh penduduk langit, karena
baktinya pada sang Ibunda. Masya Allah. Begitupun kisah seorang bapak yang
bekerja sebagai guru, tapi karena gajinya tak cukup untuk membiayai
keluarganya, maka ia rela untuk kerja sampingan menjadi penyemir sepatu. Ia tak
malu dengan pekerjaannya. Bahkan, setiap penghasilannya selalu ia sisihkan
untuk bersedekah. Mungkin orang-orang akan memandangnya sebelah mata. Namun
siapa sangka ia lebih sering bersedekah dari orang yang bergelimpangan harta.
Masih banyak lagi kisah orang
baik di luar sana, yang tak punya kekuasaan, kekayaan, atau kepopuleran, tapi
hati mereka begitu indah seperti mutiara. Dan tentunya tak kan bisa dinilai
dengan uang. Satu dari banyak orang yang telah menginspirasi saya adalah Kakak
saya di Paguyuban Karya Salemba Empat Universitas Tadulako.
Namanya Sunik Frentiana.
Merupakan alumni Pendidikan Kimia FKIP UNTAD Angkatan 2013. Tanggal 8 November
2018 kemarin, kami wisuda bersamaan. Diam-diam saya mengaguminya, karena
semangatnya dalam menyelesaikan studi. Apalagi di tengah keterbatasanya dalam
beraktifitas, ia harus menggunakan tongkat hingga wisuda kemarin. Saya tahu
benar bagaiamana cobaan berat terus datang tak kunjung henti menimpa Ka Sunik. Semoga
kisahnya bisa menginspirasi para pembaca, khususnya kita yang selalu mengeluh
dalam hidup.
Ditinggal Ibu untuk Selama-lamanya
Kumpul bersama orangtua dan
keluarga pastilah rasanya sangat membahagiakan. Apalagi di momen yang istimewa
seperti Idul Fitri, hari kemenangan kita umat muslim. Tapi siapa yang sangka
jika ternyata Lebaran Idul Fitri tahun 2017 itu adalah momen yang tidak akan
pernah terlupakan begitu saja. Karena itu adalah momen terakhir saya
merayakannya bersama ibu di Rumah Sakit.
Hampir setiap malam ibu tidak
bisa tidur, karena rasa panas dan sakit di badannya. Air mataku terus mengalir
melihat penderitaan ibu. Siapa anak yang tidak akan menangis menyaksikan ibunya
seperti itu. Saya masih ingat waktu itu, ketika pukul 2 dini hari, Ibu bertanya
padaku, "Kapan ujiannya, Nak? Apakah jadwal yang diatur kemarin dibatalkan
lagi? Ibu pengen kamu cepet selesai. Supaya nanti kita bisa foto keluarga
ramai-ramai.” Siapa yang sangka ternyata malam itu adalah malam terakhir saya
berbicara dengan ibu. Juga malam terakhir saya melihat ibu tersenyum.
Tepat malam kamis. Saya menemani
bapak duduk di luar ruang ICU. Wajahnya nampak pucat pasi. Bapak jarang makan
selama ibu di Rumah Sakit. Saya kadang khawatir dengan kesehatannya. Pukul 8
malam itu, kakak memanggil saya untuk melihat kondisi ibu. Saat itu, nafas ibu
terlihat sangat berat. Saya bingung apa yang harus saya lakukan. Bapak terduduk
lemas. Kakak pun seperti itu. Saya mencoba mendekati ibu. Ku peluk ia. Lalu
membisik dan menuntunnya untuk menyebut lafadz Allah. Nafas ibu masih sangat
berat dan cepat, secara perlahan lahan nafasnya mulai pelan, semakin pelan,
lebih pelan lagi hingga akhirnya, nafas terkahir dihembuskannya. Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Ibu
pergi ketika di pelukanku. Dan saya merasakan sendiri bagaimana detak jantung
ibu secara perlahan mulai terhenti.
Ibuku pergi. Saya sudah kehilangan
satu pintu surgaku.
Memakai Tongkat
Tepat sepekan setelah kepergian
ibu, saya mengalami kecelakaan. Saat itu, posisi saya dibonceng. Saya terlempar
sekitar 10 meter dari lokasi kejadian. Saat kecelakaan itu saya sadar. Tidak
pingsan sama sekali. Alhamdulillah, Allah belum mengambil nyawaku. Namun,
ketika saya ingin berdiri, kakiku tak mampu untuk digerakkan. Dan saat saya
lihat, “Ya Rabb kenapa kakiku? Posisi
lututnya sudah tidak pada tempatnya lagi. Kakiku sudah berputar arah. Lututku
berada di samping, tak lagi di depan seperti pada normalnya. Sakit sekali
rasanya. Sungguh, baru kali ini saya merasakan sakit yang luar biasa.
Saat itu, saya tidak langsung
dibawak ke rumah sakit, melainkan ke tukang urut, karena dianggap hanya keseleo
saja, sehingga akan segera sembuh. Ketika tiba di rumah, bapak sangat kaget
melihat keadaanku. Ia langsung terduduk lemas di lantai dan sepiring nasi yang
ada di tangannya juga ikut jatuh. Bapak menangis terisak sambil berucap, “anakku…anakku…anakku…” Saya mencoba
tersenyum dan mengatakan, bahwa saya baik-baik saja.
Setelah 15 hari pasca kecelakaan
saya masih belum bisa bangun juga. Yang bisa bergerak hanya kedua tangan dan kepalaku
saja. Dadaku makin sesak, ketika melihat bapak tidak makan. Ia lebih banyak
melamun. Pikiranku waktu itu benar-benar kacau dan tak terkontrol. Saya hanya
bisa menangis. Sempat bahkan berputusasa dan berpikiran yang macam-macam.
Sekitar empat bulan saya harus
terbujur kaku di tempat tidur. Sebelum akhirnya 31 Oktober saya di operasi.
Selama masa pemulihan, saya ditemani kedua tongkatku dalam menjalankan
rutinitas sehari-hari hingga saat ini.
Mereka adalah Alasan Terus Berjuang
Pada suatu malam, ketika semua
org sudah tertidur, saya mengesot pergi ke ruang tamu. Saya melihat bapak tidur
di kursi waktu itu. Saat saya melihat wajahnya, kerinduan pada ibu tiba-tiba
muncul. Semua pesan ibu terngiang di kepalaku. Hingga perjuangan bapak dan
cucuran keringan kerja kerasnya. Air mataku tak dapat ku bendung. Sejak saat
itu, ku tekadkan agar lebih semangat dalam menjalani hidup, agar bapak juga
bisa ikut bersemangat.
Saya mulai belajar berdiri. Bapak
dan kakak senang sekali melihatnya ketika saya sudah bisa kembali berdiri
sendiri. Namun, ketika samangat itu sedang bangkit, ada saja cobaan yang
membuatnya turun. Ketika ada orang yang berkunjung ke rumah dan mengatakan, “Kasihan ya, masih gadis, tapi kakinya sudah
cacat. Sepertinya tidk bisa normal lagi.” Perih rasanya. Jika hanya saya
yang mendengarnya tak masalah, tapi bapak juga. Akhirnya saya bulatkan niatku
untuk bisa sembuh. Mereka manusia hanya bisa menilai. Tetap Allah yg punya
kuasa. Asal saya berusaha.
Alhamdulillah, Allah tunjukkan
jalan. Akhirnya saya di operasi. Sebulan setelah operasi, saya sampaikan ke
dokter, bahwa saya ingin ke kampus. Dan dokter membolehkan.
Bantuan teman-teman juga membuat
saya tetap semangat. Doa mereka. Juga bantuan hingga saya bisa menyelesaikan
studi. Ternyata, Allah masih memberi orang-orang baik di sekitar saya.
Wisuda
Bisa ada di titik ini tentu
anugrah yang luar biasa. Ada sedih dan senang. Sedihnya, karena di momen wisuda
ini tidak ada ibu yg selalu memberi semangat. Padahal hari itu menjadi hari
yang dinanti-nantikannya. Tapi saya juga tetap senang. Sulit untuk diungkapkan
dengan kata-kata bagaimana rasa bahagia akhirnya bisa menyelesaikan studi ini
ditengah-tengah ujian yang Allah berikan.
“Hidup dengan kondisi yang berbeda dari lainnya itu sebenarnya bukan
suatu masalah. Entah kita menyadarinya atau tidak, sebenarnya kita yang berbeda
adalah yang paling istimewa. Kenapa? Coba perhatikan sekeliling, mereka
semuanya terlihat sama. Hanya kita sendiri yg berbeda dari mereka semua.
Bukankah kita yg berbeda yg akan jadi pusatnya? Istimewa bukan. Perekonomian,
kondisi fisik, bukanlah halangan kita untuk mencapai cita-cita kita. Allah
melihat dan Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan hambanya yang bersungguh-sungguh.
Man jadda wa jadda. Harus selalu diingat, kesabaran pasti selalu berbuah manis.”
#palubangkit
#bermanfaatbersama
#30dwb
#tulisanke8
Komentar
Posting Komentar