Langsung ke konten utama

Januari: Tentang Kehilangan

 


Di awal tahun 2024, Allah memberi salah satu pelajaran begitu berharga. Lewat ujian kehilangan. Ini menjadi pengalaman yang akan begitu membekas buatku. Seingatku, ini kali pertama aku menyaksikan tiga orang meninggalkan dunia, di dalam sebuah ruangan yang disebut ICU. Ruangan yang penuh monitor dengan suara teratur. Namun, bisa membuat dada sesak, saat suaranya mulai intens berbunyi. Monitor itu menunjukkan denyut nadi, nafas, tekanan darah, dan suhu seorang pasien. Di tengah ruangan, ada para petugas medis yang akan memantau dan sigap apabila ada tanda tidak beres dari monitor-monitor para pasien.

            Jarak antara pasien yang satu dengan yang lain cukup dekat. Hanya ada gorden yang menjadi pembatas. Namun, gorden itu tidak ditutup sepenuhnya, agar tidak menghalangi petugas medis yang ingin memantau monitor. Untuk itu, aku bisa menyaksikan pasien dan keluarganya yang ada di sebelah ataupun di depanku.

            Di malam pertama saat berjaga di ruang ICU, aku bisa mendengar suara tangisan keluarga yang ada di depan kami, tidak lama kemudian petugas menutup gordennya, memberi ruang dan waktu untuk keluarganya bisa menangisi dan melepas kepergian orang yang mereka kasihi.

            Sementara itu, di pagi hari menjelang siang, aku melihat pasien di sebelah yang sudah menggunakan alat bantu tambahan yang dipasang di mulutnya. Padahal sebelumnya, aku menyaksikan pasien tersebut masih bisa memberi respon saat diajak berbicara dengan keluarganya, meski hanya dengan mengangguk. Namun di siang itu, aku bisa menyaksikan keluarganya yang tampak menangis disamping ranjang, melihat kondisi pasien yang semakin susah bernafas. Dan di sore harinya, aku kembali masuk ke ruang ICU dan melihat ranjang itu sudah kosong. Termasuk terpal keluarganya yang ada di samping kami biasanya menginap di depan ruang ICU, sudah tak lagi ada. Itu kabar kedua aku mendengar kabar duka secara berentetan di ruangan yang sama.

            Aku tidak tahu persis, apakah itu di hari berikutnya atau dua hari kemudian, keluarga kami yang dirawat juga dipasangkan alat yang sama. Meski terkejut, aku cukup bersyukur waktu itu, karena napasnya masih teratur. Hingga tiba sore hari, aku bisa melihat kondisi yang sama dengan pasien sebelumnya. Keluarga kami menunjukkan kondisi yang mulai tampak kesulitas bernapas. Saat itu tentu saja, aku mencoba untuk tetap berprasangka baik, bahwa keluarga kami akan sembuh, meski dengan kekhawatiran dan sorotan mata yang selalu tertuju ke arah monitor. Tekanan darahnya terus menurun.

            Keluarga mulai berkumpul, tak henti-hentinya kami membacakan ayat suci Al-Qur`an dan dzikir di kanan dan kiri telinganya. Di saat yang sama, seorang petugas medis terus memantau monitor dan cairan infus. Hingga tak berselang lama, petugas itu menyampaikan kondisi pasien, bahwa dosis yang diberikan sudah paling tinggi, namun tekanannya terus menurun. Selanjutnya, ia mempersilahkan kami untuk terus berdoa dan mulai menutup setengah gorden. Tanda-tandanya mulai tampak terlihat, tensi darahnya sudah tak terdeteksi di monitor, dan perutnya tak lagi bergerak. Namun saat itu, kami tetap saja yakin bahwa keluarga kami masih ada, karena monitor masih menunjukkan suhu tubuh, napas, dan nadi yang terdeteksi.

            Hingga kemudian salah satu diantara keluarga kami, mulai menutup matanya. Tangis pun menjadi pecah. Namun meski begitu, kami masih tetap belum percaya, sampai petugas medis sendiri yang menyatakan bahwa pasien sudah tidak ada. Seorang petugas masuk lagi, ia menyampaikan bahwa detak jantungnya masih kuat. Tentu saja itu memberi harapan pada kami, meskipun dengan segala tanda yang sudah terlihat di depan mata.

Malam itu menjadi malam yang panjang. Ada harapan dan juga doa agar Allah memberi jalan yang terbaik. Petugas silih berganti keluar masuk. Hingga akhirnya, petugas terakhir memasang sarung tangan dan baju hijau operasi, didamping dengan beberapa perawat yang lain. Memeriksa kembali keadaan pasien, menekan tombol di monitor, lalu mematikannya, ia berucap bahwa pasien sudah tidak ada.

            Seketika itu harapan yang terus kami pupuk bahwa masih ada kehidupan, seketika sirna. Akhirnya, rintihan tangisan itu mulai ramai terdengar. Tak ada lagi harapan, melainkan hanya keikhlasan. Kerelaan bahwa semua mahluk akan pergi. Termasuk keluarga kami terkasih.

            Malam itu juga, Almarhum dibawa ke kampung halaman dengan ambulans, dan iringan mobil dari keluarga. Malam itu menjadi malam yang membuat aku bisa terisak-isak, setelah kepergian nenekku bertahun-tahun silam. Selain karena beliau adalah orang yang memberi kenangan yang banyak, sebab sedari kecil aku tumbuh bersama para sepupuku, juga beliau banyak mengajarkan hal baik dan menjadi inspirasi kebaikan. Dan bahkan menjelang akhir hidupnya, aku banyak sekali belajar dari proses mendampingi beliau dengan berbagai pengalaman baru yang kualami di Rumah Sakit. Aku jadi banyak belajar betapa berharganya kehidupan dan proses mengisinya, serta memaknai arti kematian sebagai bagian dari kehidupan berikutnya (pertanggungjawaban).

            Untuk Almarhum, semoga Allah tempatkan terbaik di sisi-Nya bersama orang-orang bertakwa. Untuk keluarga khususnya anak-anak yang ditinggalkan, kalian tumbuh dari rahim seorang Ibu yang kuat dan baik, dan aku yakin kalian pun akan menjalani kehidupan ini dengan warisan kebaikan-kebaikan itu. Semoga Allah selalu menguatkan kita dan juga bisa pulang dalam keadaan terbaik. Amiin ya Rabb :)

“Sesungguhnya aku adalah hamba di sisi Allah dan akan kembali pada-Nya. Siapa saja yang mengetahui Allah itu memiliki hamba dan akan kembali pada-Nya, maka tentu ia tahu bahwa hidupnya akan berakhir. Kalau tahu hidupnya akan berakhir, tentu ia tahu bahwa ia akan ditanya. Kalau tahu ia akan ditanya, maka ia tentu akan mempersiapkan jawaban dari pertanyaan yang ada”

 ~Al-Fudhail bin `Iyadh.


Referensi: https://rumaysho.com/12553-butuh-bekal-ke-kampung-akhirat.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Motivasi untuk Terus Belajar: Kids, This Is Your Mom

Sejak SMA aku punya impian, sebelum menikah, aku ingin menyelesaikan studi S2 terlebih dahulu. Motivasiku saat itu, salah satunya adalah, karena aku ingin menjadi teladan untuk anakku kelak dalam hal pendidikan. Bahwa terus belajar adalah hal penting dalam kehidupan. Ilmu menjadi cahaya dalam bertutur dan berbuat. Keberkahan ilmu akan tercerminkan dari sikap seseorang. Paling tidak, “Semangat Belajar” itu ingin kutumbuhkan dan semoga bisa menjadi inspirasi untuk ia kelak.  Pengetahuan tidak hanya melulu bicara tentang bangku sekolah ataupun perkuliahan, namun memuat berbagai hal yang menjadi bagian dari proses belajar, tumbuh, dan berkembang. Dalam perjalanan mencapai cita-cita misalnya, ada berbagai pengalaman baru yang dilalui, dan kadang kala membuat takut. Namun keberanian itu kerap kali muncul, salah satunya diilhami dari “peran” sebagai seorang perempuan yang kelak akan menjadi Ibu, madrasah pertama untuk anak-anak, jadi sumber pertanyaan mereka. Untuk itulah, aku perlu untuk m

Yogyakarta: Tour Perpus UGM

Selama kuliah, mayoritas waktuku diisi di Perpustakaan dibanding di dalam kelas. Kuliah empat semester jarak jauh. Sementara semester sisanya untuk penelitian dan mengerjakan tesis di Perpus. Fasilitas di Perpus UGM sangat beragam. Ada banyak fasilitas yang disediakan untuk mahasiswa. Juga ada banyak ruangan yang tersedia untuk mengakses berbagai layanan, mulai dari akses buku, jurnal, maupun tugas akhir kuliah. Sementara itu, di luar ruangan ada banyak spot tempat duduk yang disediakan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa. Mulai dari meja panjang untuk ruang diskusi sampai meja yang tampaknya cocok untuk para introvert atau mahasiswa yang ingin fokus mengerjakan tugasnya sendiri. Ada juga kantin, loker, toilet dan mushola yang tersedia di setiap lantai, ruangan yang biasanya digunakan untuk melaksanakan kegiatan/seminar, juga spot bermain anak/balita. Waktu buka Perpus dari Hari Senin-Jum`at (08.00 pagi sampai 08.00 malam). Di hari Sabtu, buka sampai jam 12.00 siang. @perpustakaan_ugm Pe