Di
awal tahun 2024, Allah memberi salah satu pelajaran begitu berharga. Lewat
ujian kehilangan. Ini menjadi pengalaman yang akan begitu membekas buatku. Seingatku,
ini kali pertama aku menyaksikan tiga orang meninggalkan dunia, di dalam sebuah
ruangan yang disebut ICU. Ruangan yang penuh monitor dengan suara teratur.
Namun, bisa membuat dada sesak, saat suaranya mulai intens berbunyi. Monitor
itu menunjukkan denyut nadi, nafas, tekanan darah, dan suhu seorang pasien. Di
tengah ruangan, ada para petugas medis yang akan memantau dan sigap apabila ada
tanda tidak beres dari monitor-monitor para pasien.
Jarak antara pasien yang satu dengan
yang lain cukup dekat. Hanya ada gorden yang menjadi pembatas. Namun, gorden
itu tidak ditutup sepenuhnya, agar tidak menghalangi petugas medis yang ingin
memantau monitor. Untuk itu, aku bisa menyaksikan pasien dan keluarganya yang
ada di sebelah ataupun di depanku.
Di malam pertama saat berjaga di
ruang ICU, aku bisa mendengar suara tangisan keluarga yang ada di depan kami,
tidak lama kemudian petugas menutup gordennya, memberi ruang dan waktu untuk
keluarganya bisa menangisi dan melepas kepergian orang yang mereka kasihi.
Sementara itu, di pagi hari
menjelang siang, aku melihat pasien di sebelah yang sudah menggunakan alat
bantu tambahan yang dipasang di mulutnya. Padahal sebelumnya, aku menyaksikan pasien
tersebut masih bisa memberi respon saat diajak berbicara dengan keluarganya,
meski hanya dengan mengangguk. Namun di siang itu, aku bisa menyaksikan
keluarganya yang tampak menangis disamping ranjang, melihat kondisi pasien yang
semakin susah bernafas. Dan di sore harinya, aku kembali masuk ke ruang ICU dan
melihat ranjang itu sudah kosong. Termasuk terpal keluarganya yang ada di
samping kami biasanya menginap di depan ruang ICU, sudah tak lagi ada. Itu
kabar kedua aku mendengar kabar duka secara berentetan di ruangan yang sama.
Aku tidak tahu persis, apakah itu di
hari berikutnya atau dua hari kemudian, keluarga kami yang dirawat juga
dipasangkan alat yang sama. Meski terkejut, aku cukup bersyukur waktu itu,
karena napasnya masih teratur. Hingga tiba sore hari, aku bisa melihat kondisi
yang sama dengan pasien sebelumnya. Keluarga kami menunjukkan kondisi yang
mulai tampak kesulitas bernapas. Saat itu tentu saja, aku mencoba untuk tetap
berprasangka baik, bahwa keluarga kami akan sembuh, meski dengan kekhawatiran
dan sorotan mata yang selalu tertuju ke arah monitor. Tekanan darahnya terus
menurun.
Keluarga mulai berkumpul, tak
henti-hentinya kami membacakan ayat suci Al-Qur`an dan dzikir di kanan dan kiri
telinganya. Di saat yang sama, seorang petugas medis terus memantau monitor dan
cairan infus. Hingga tak berselang lama, petugas itu menyampaikan kondisi
pasien, bahwa dosis yang diberikan sudah paling tinggi, namun tekanannya terus
menurun. Selanjutnya, ia mempersilahkan kami untuk terus berdoa dan mulai
menutup setengah gorden. Tanda-tandanya mulai tampak terlihat, tensi darahnya
sudah tak terdeteksi di monitor, dan perutnya tak lagi bergerak. Namun saat itu,
kami tetap saja yakin bahwa keluarga kami masih ada, karena monitor masih
menunjukkan suhu tubuh, napas, dan nadi yang terdeteksi.
Hingga kemudian salah satu diantara
keluarga kami, mulai menutup matanya. Tangis pun menjadi pecah. Namun meski
begitu, kami masih tetap belum percaya, sampai petugas medis sendiri yang menyatakan
bahwa pasien sudah tidak ada. Seorang petugas masuk lagi, ia menyampaikan bahwa
detak jantungnya masih kuat. Tentu saja itu memberi harapan pada kami, meskipun
dengan segala tanda yang sudah terlihat di depan mata.
Malam
itu menjadi malam yang panjang. Ada harapan dan juga doa agar Allah memberi
jalan yang terbaik. Petugas silih berganti keluar masuk. Hingga akhirnya,
petugas terakhir memasang sarung tangan dan baju hijau operasi, didamping
dengan beberapa perawat yang lain. Memeriksa kembali keadaan pasien, menekan
tombol di monitor, lalu mematikannya, ia berucap bahwa pasien sudah tidak ada.
Seketika itu harapan yang terus kami
pupuk bahwa masih ada kehidupan, seketika sirna. Akhirnya, rintihan tangisan
itu mulai ramai terdengar. Tak ada lagi harapan, melainkan hanya keikhlasan. Kerelaan
bahwa semua mahluk akan pergi. Termasuk keluarga kami terkasih.
Malam itu juga, Almarhum dibawa ke
kampung halaman dengan ambulans, dan iringan mobil dari keluarga. Malam itu
menjadi malam yang membuat aku bisa terisak-isak, setelah kepergian nenekku bertahun-tahun
silam. Selain karena beliau adalah orang yang memberi kenangan yang banyak, sebab sedari kecil aku tumbuh bersama para sepupuku, juga beliau banyak mengajarkan hal baik
dan menjadi inspirasi kebaikan. Dan bahkan menjelang akhir hidupnya, aku banyak
sekali belajar dari proses mendampingi beliau dengan berbagai pengalaman baru
yang kualami di Rumah Sakit. Aku jadi banyak belajar betapa berharganya kehidupan
dan proses mengisinya, serta memaknai arti kematian sebagai bagian dari
kehidupan berikutnya (pertanggungjawaban).
Untuk Almarhum, semoga Allah
tempatkan terbaik di sisi-Nya bersama orang-orang bertakwa. Untuk keluarga khususnya
anak-anak yang ditinggalkan, kalian tumbuh dari rahim seorang Ibu yang kuat dan
baik, dan aku yakin kalian pun akan menjalani kehidupan ini dengan warisan
kebaikan-kebaikan itu. Semoga Allah selalu menguatkan kita dan juga bisa pulang
dalam keadaan terbaik. Amiin ya Rabb :)
“Sesungguhnya
aku adalah hamba di sisi Allah dan akan kembali pada-Nya. Siapa saja yang mengetahui
Allah itu memiliki hamba dan akan kembali pada-Nya, maka tentu ia tahu bahwa
hidupnya akan berakhir. Kalau tahu hidupnya akan berakhir, tentu ia tahu bahwa
ia akan ditanya. Kalau tahu ia akan ditanya, maka ia tentu akan mempersiapkan jawaban
dari pertanyaan yang ada”
~Al-Fudhail bin `Iyadh.
Referensi: https://rumaysho.com/12553-butuh-bekal-ke-kampung-akhirat.html
Komentar
Posting Komentar