"Mohon informasinya jika melihat 3 orang ini. Yakni seorang kakek yang biasa berjualan roti di kampus Untad. Seorang kakek yang biasa berjualan es tong-tong sambil berjalan kaki. Dan seorang nenek yang biasa berjualan buku sambil berjalan kaki di sekitar depan gerbang kampus hingga lampu merah kartini."
Tiga orang di atas bukanlah keluargaku, tapi aku sangat tertarik dengan kegigihan dan kerja keras para orangtua tersebut sejak Palu belum di guncang bencana. Mereka adalah sosok-sosok inspirasiku dalam memaknai hidup untuk terus bersyukur. Mereka adalah kakek dan nenek yang pantang meminta belas kasih walaupun umurnya telah jauh dari usia produktif lagi.
Si kakek penjual roti kerap ku temui di kampus. Berkeliling mengitari kampus Untad ke tiap fakultasnya. Dari gerbang utama Untad hingga Rektorat saja sudah cukup jauh bagiku. Dan beliau mengitari tiap fakultas, tiap kelas, yang luasnya hingga puluhan hektar itu? Tak cukup sampai disitu ternyata ia berjalan kaki mulai dari rumahnya yang berada di Tanjung 1 (kalau aku tak salah ingat) menuju kampus dan pulang pun seperti itu. Tiap hari dilaluinya seperti itu. Ingin ku bertanya, "Pak, kenapa nda beli sepeda atau kendaraan saja?" Tapi lisanku sungkan mengeluarkannya, karena takut menyinggug persaannya. Aku pun tahu, pasti kakek pun menginginkannya, jika saja rezekinya lebih dari cukup untuk kebutuhannya.
Nenek penjual buku beberapa kali ku jumpai duduk di trotoar jalan depan kampus. Kadang juga ku lihat berjalan di jalur dua, Tondo. Tangan kanannya menggandeng tas dan tangan kirinya membawa tumpulan buku agama. "Nek, beli bukunya," Ia sodorkan beberapa tumpukan buku itu padaku sambil menjelaskan jenis bukunya satu per satu. "Nek, saya ambil ini yah. Oh ia nenek dari mana? Kesini naik apa nek?" tanyaku. "Kesini naik angkot, terus jalan sampai kesana" jari telunjuknya menengadah ke arah jalan jalur dua Tondo yang tak berujung itu. Aku sempat berpikir apakah ada untungnya berjualan buku sambil berjalan kaki seperti ini? Kalaupun ada untungnya pasti hanya sedikit. Tidak sebanding dengan kerja keras yang dilakukan oleh nenek, pikirku memendam.
Aku bertemu dengan kakek penjual es tong-tong pertama dan terakhir kali ketika di lampu merah. Aku lupa nama jalannya. Yang jelas saat itu kendaraan berhenti di lampu merah, ketika ku melirik ke sebelah kanan ku lihat kakek itu. Kendaraan ku tepikan, "Kek, pesan es tong-tongnya Kek," pintaku. Kakek tua itu sibuk mengambil tempat. Tapi lebih tepatnya ku rasa meraba. Ku coba perhatikan matanya, tampaknya kakek sudah kehilangan sedikit indra penglihatannya. Ia butuh waktu cukup lama untuk mengambil tempat, mengikis es dan juga mengambil sendok kecil dalam plastik. Greget rasanya tanganku ingin membantu. Di satu sisi pikiranku melayang, "Bagaiman bisa kakek ini berjualan seorang diri dalam keadaan seperti ini dan berjalan kaki pula? Apakah ia tak kenapa dijalanan nantinya?" Usut punya usut ternyata kakek ini sudah berjulan sejak bertahun-tahun dalam kondisipun yang sama. Mengandalkan gerobak yang di dorong olehnya sendiri.
Pasca benca 28 September 2018, aku terus saja memikirkan nasib mereka. Apakah mereka selamat? Apakah mereka dapat tempat yang layak dan makanan yang cukup? Hidup mereka sudah sulit, apakah mereka akan mampu melewati ujian ini lagi? Aku selalu berharap bisa bertemu dengan kakek dan nenek ini lagi. Mereka hingga kini menjadi sosok yang membuatku terkesima dan mengambil banyak pelajaran. Bahwa hidup bukan untuk diratapi dan dikeluhkan, tapi dihadapi dan dijalani. Bahwa hidup di atas kaki sendiri lebih baik daripada hidup di bawah belas kasihan orang lain. Juga menjadi tamparan buatku juga para anak muda lainnya, bahwa mereka kakek dan nenek yang harusnya tinggal dan beristirahat di rumah tak pernah lelah untuk bekerja keras demi mendapat sesuap nasi, namun begitu banyak anak muda sekarang yang tak tahan dengan proses hingga ingin segala sesuatu instan meskipun menghalalkan berbagai cara.
Mereka menjadi motivasiku untuk bersyukur. Sehingga tak jarang, ketika ujian rasanya begitu berat, ku bayangkan pikiran kakek dan nenek yang harus berjuang setiap hari berjalan kaki hingga puluhan kilometer untuk bertahan hidup. Ah, rasa-rasanya ujian yang ku jalani saat ini hanyalah kerikil kecil jika dibandingkan dengan apa yang sudah kakek dan nenek alami selama bertahun-tahun.
Ya Allah semoga kakek dan nenek selalu mendapat tempat terbaik di manamu pun mereka berada. Semoga Engkau selalu melindungi mereka. Untuk teman-teman pembaca, jika mengetahui informasi tetang kakek dan nenek, mohon informasinya yah, paling tidak ku tahu bahwa mereka selamat. Mereka adalah orang-orang baik kota ini.
Tiga orang di atas bukanlah keluargaku, tapi aku sangat tertarik dengan kegigihan dan kerja keras para orangtua tersebut sejak Palu belum di guncang bencana. Mereka adalah sosok-sosok inspirasiku dalam memaknai hidup untuk terus bersyukur. Mereka adalah kakek dan nenek yang pantang meminta belas kasih walaupun umurnya telah jauh dari usia produktif lagi.
Si kakek penjual roti kerap ku temui di kampus. Berkeliling mengitari kampus Untad ke tiap fakultasnya. Dari gerbang utama Untad hingga Rektorat saja sudah cukup jauh bagiku. Dan beliau mengitari tiap fakultas, tiap kelas, yang luasnya hingga puluhan hektar itu? Tak cukup sampai disitu ternyata ia berjalan kaki mulai dari rumahnya yang berada di Tanjung 1 (kalau aku tak salah ingat) menuju kampus dan pulang pun seperti itu. Tiap hari dilaluinya seperti itu. Ingin ku bertanya, "Pak, kenapa nda beli sepeda atau kendaraan saja?" Tapi lisanku sungkan mengeluarkannya, karena takut menyinggug persaannya. Aku pun tahu, pasti kakek pun menginginkannya, jika saja rezekinya lebih dari cukup untuk kebutuhannya.
Nenek penjual buku beberapa kali ku jumpai duduk di trotoar jalan depan kampus. Kadang juga ku lihat berjalan di jalur dua, Tondo. Tangan kanannya menggandeng tas dan tangan kirinya membawa tumpulan buku agama. "Nek, beli bukunya," Ia sodorkan beberapa tumpukan buku itu padaku sambil menjelaskan jenis bukunya satu per satu. "Nek, saya ambil ini yah. Oh ia nenek dari mana? Kesini naik apa nek?" tanyaku. "Kesini naik angkot, terus jalan sampai kesana" jari telunjuknya menengadah ke arah jalan jalur dua Tondo yang tak berujung itu. Aku sempat berpikir apakah ada untungnya berjualan buku sambil berjalan kaki seperti ini? Kalaupun ada untungnya pasti hanya sedikit. Tidak sebanding dengan kerja keras yang dilakukan oleh nenek, pikirku memendam.
Aku bertemu dengan kakek penjual es tong-tong pertama dan terakhir kali ketika di lampu merah. Aku lupa nama jalannya. Yang jelas saat itu kendaraan berhenti di lampu merah, ketika ku melirik ke sebelah kanan ku lihat kakek itu. Kendaraan ku tepikan, "Kek, pesan es tong-tongnya Kek," pintaku. Kakek tua itu sibuk mengambil tempat. Tapi lebih tepatnya ku rasa meraba. Ku coba perhatikan matanya, tampaknya kakek sudah kehilangan sedikit indra penglihatannya. Ia butuh waktu cukup lama untuk mengambil tempat, mengikis es dan juga mengambil sendok kecil dalam plastik. Greget rasanya tanganku ingin membantu. Di satu sisi pikiranku melayang, "Bagaiman bisa kakek ini berjualan seorang diri dalam keadaan seperti ini dan berjalan kaki pula? Apakah ia tak kenapa dijalanan nantinya?" Usut punya usut ternyata kakek ini sudah berjulan sejak bertahun-tahun dalam kondisipun yang sama. Mengandalkan gerobak yang di dorong olehnya sendiri.
Pasca benca 28 September 2018, aku terus saja memikirkan nasib mereka. Apakah mereka selamat? Apakah mereka dapat tempat yang layak dan makanan yang cukup? Hidup mereka sudah sulit, apakah mereka akan mampu melewati ujian ini lagi? Aku selalu berharap bisa bertemu dengan kakek dan nenek ini lagi. Mereka hingga kini menjadi sosok yang membuatku terkesima dan mengambil banyak pelajaran. Bahwa hidup bukan untuk diratapi dan dikeluhkan, tapi dihadapi dan dijalani. Bahwa hidup di atas kaki sendiri lebih baik daripada hidup di bawah belas kasihan orang lain. Juga menjadi tamparan buatku juga para anak muda lainnya, bahwa mereka kakek dan nenek yang harusnya tinggal dan beristirahat di rumah tak pernah lelah untuk bekerja keras demi mendapat sesuap nasi, namun begitu banyak anak muda sekarang yang tak tahan dengan proses hingga ingin segala sesuatu instan meskipun menghalalkan berbagai cara.
Mereka menjadi motivasiku untuk bersyukur. Sehingga tak jarang, ketika ujian rasanya begitu berat, ku bayangkan pikiran kakek dan nenek yang harus berjuang setiap hari berjalan kaki hingga puluhan kilometer untuk bertahan hidup. Ah, rasa-rasanya ujian yang ku jalani saat ini hanyalah kerikil kecil jika dibandingkan dengan apa yang sudah kakek dan nenek alami selama bertahun-tahun.
Ya Allah semoga kakek dan nenek selalu mendapat tempat terbaik di manamu pun mereka berada. Semoga Engkau selalu melindungi mereka. Untuk teman-teman pembaca, jika mengetahui informasi tetang kakek dan nenek, mohon informasinya yah, paling tidak ku tahu bahwa mereka selamat. Mereka adalah orang-orang baik kota ini.
Komentar
Posting Komentar