“Don`t judge the book by its cover”
Kalimat ini cocok sekali menggambarkan si kota
metropolitan – Jakarta. Macet, banjir, belum lagi kasus-kasus kejahatan dan
penipuan yang sering kulihat di layar kaca ataupun media online, sering terjadi
di kota padat ini. Jakarta dengan beragam problematikanya, membuatku tak
memasukkannya dalam list kota yang ingin kukunjungi. Namun nyatanya, Allah
berkata lain. Jakarta menjadi tempatku untuk menimba ilmu selama lebih dari 3
bulan.
Perjalanan menuju Jakarta, membuat pikiranku
melayang membayangkan hal-hal buruk yang mungkin akan kualami. Rasanya, kota
ini benar-benar tidak akan cocok denganku. ‘Lifestyle’ kota ini takkan bisa bergandengan
denganku yang selow, tak suka diburu-buru dan simple. Menurutku, Jakarta adalah
kota dimana orang-orangnya selalu ditutut untuk `upgrade`, khususnya dalam hal
barang-barang konsumtif. Kemacetan dan bunyi klakson dimana-mana juga pasti
membuat mereka stres, sehingga kupikir mereka akan lebih mudah marah. Belum
lagi budaya kota yang lebih mengusung ‘kebebasan’ seperti yang dipertontonkan Si
Boy atau Si Srigala di layar tv akan mampu mengikis nilai dan norma anak desa sepertiku.
Yah, begitulah pemikiranku tentang Jakarta sejak belum menginjakkan kaki di kota
ini.
Don’t judge the book by its cover. Nyatanya, aku hanya melihat Jakarta dari cover-nya
saja, dari perkataan orang-orang dan asumsiku belaka. Menghabiskan waktu selama
3 bulan di kota ini memberi kesan yang jauh berbeda dari sebelumnya. Yah, Jakarta
memang macet dan banjir saat musim penghujan, tapi kota ini bukan berarti tak
memberi pelajaran dan kesan positif bagiku.
Di kota ini, aku banyak melihat dan merenung.
Ada bayak gedung pencakar langit, namun ada banyak juga penarik gerobak sampah.
Ada banyak kampus ternama, namun banyak juga anak-anak pengamen yang tak
bersekolah. Ada banyak tempat makan dengan harga tinggi, namun banyak juga
pengemis di jalanan.
Kota ini selalu ramai. Ada orang yang sejak
subuh sudah berangkat ke kantor, ada pula yang sejak pagi buta sudah membawa
sekarung penuh sampah. Ada yang menghabiskan malam minggunya untuk rekreasi,
namun ada juga pemulung dan pemain ondel-ondel yang tetap bekerja hingga larut.
Kota ini memberikan jawaban atas asumsiku yang
salah. Bahwa orang baik itu masih banyak. Termasuk di Jakarta. Ada abang gocar
yang mengantarku ke alamat kosan dengan selamat dan tanpa marah-marah meski
titik petanya salah. Ada abang gojek yang sopan dan tiba-tiba mengirim chat, “maaf
kak, tadi ambil barangnya pakai tangan kiri, karena tangan kanan saya masih
pegang gas motor.” Ada bapak angkot yang mengantar ke titik penjemputan
tanpa ingin dibayar. Ada bapak kos yang memberi buah gratis. Ada banyak anak
muda yang memilih berdiri, untuk mempersilahkan orang yang lebih tua darinya
duduk di tranportasi umum.
Nyatanya, Jakarta menjadi kota yang memberiku
lebih banyak pelajaran hidup. Waktu dan kerja keras adalah dua hal yang banyak
menjadi perenunganku di kota ini. Selain itu, kota metropolitan ini juga
memberiku mimpi baru. Yakni menjadi orang kaya. Impian yang tak pernah ingin
kuperjuangkan sebelumnya, karena memilih untuk hidup ‘cukup’ saja. Namun, ketika
Allah memperlihatkanku adik-adik yang tak bersekolah, orangtua yang memikul
rongsokan dan sampah di punggungnya, ataupun mereka yang tinggal di jalanan,
silih-berganti menghiasi hari-hariku di Jakarta, akan tetapi perihnya aku tak
bisa membantu, karena tak punya cukup dana.
Uang memang bukan menjadi patokan aku bisa bahagia.
Namun uang dapat menjadi alat untukku memberi bantuan pada mereka yang
membutuhkan. Dan tak lagi menjadi ‘penghambat’ untuk menebar kebaikan.
Terima
kasih Jakarta. Sudah memberi banyak pelajaran hidup. Lagi, Allah memang selalu
memilih tempat-tempat terbaik untukku belajar. Tak melulu kota di dalam list,
tetapi juga di luar dari keinginanku. Karena Allah paling tahu pelajaran apa
yang selanjutnya harus kupelajari.
See you soo Jakarta. Semoga saat kembali ke sini, aku
sudah memantaskan diri :)
Komentar
Posting Komentar