Menjelang puasa Ramadan, aku menyempatkan pulang ke kampung halaman. Setelah sempat dua tahunan tidak berlebaran bersama keluarga. Agenda pulang kampung tanpa direncanakan sebelumnya, namun Alhamdulillah dapat waktu yang pas, sebab entah kapan lagi bisa ber-Ramadan dengan keluarga, karena kedepannya mungkin akan ada amanah-amanah baru yang harus dijalankan. Saat pulang, aku sengaja mengabadikan lebih banyak momen agar bisa selalu dikenang, dan memilih tidur dengan ibu daripada tidur di kamar sendiri. Di usia dewasa, kita bisa jadi lebih memahami betapa berharganya waktu bersama keluarga. Terlebih jika sebagai perantau yang tidak selalu bisa tinggal di rumah bertemu keluarga. Tahun ini menjadi tahun ke-26 ku melalui Bulan Ramadan. Saat pulang menjadi momen dimana aku bisa melihat pertumbuhan per-sepupu-an yang dulu masih kecil sudah mulai tumbuh dewasa, yang dulunya masih sendiri kini sudah beranak-pinak, pun sanak saudara yang dulunya masih bisa bertemu kini hanya bisa dikunjungi saat
"Sebaik-baik manusai adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya" (HR. Thabrani) Begitu pesan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang sering kali kita dengarkan. Sebagai ummatnya, pesan ini tidak hanya sebatas sebagai risalah, namun juga memiliki makna penting dalam memahami arti dari "menjadi manusia". Di bulan ini, suatu kesyukuranku bisa bertemu dengan beberapa teman baru via online maupun offline. Beberapa diantaranya ada yang bekerja di tinggkat daerah hingga nasional. Sebagai perumus kebijakan yang tentunya memiliki pengaruh yang masif terhadap masyarakat luas. Saya memiliki kesempatan untuk bisa sharing satu sama lain. Namun sejujurnya, dalam proses dialog itu saya menyimpan rasa "kagum" akan peran mereka yang besar untuk masyarakat. Terbesit akan peran saya yang rasanya masih begitu "retceh" jika dibandingkan dengan mereka. Dalam menulis pun kadang kala saya merasakan hal yang sama. Buku ataupun tulisan-tulisan